Oleh: Maman S. Mahayana
Di tengah kesenyapan penerbitan buku-buku kritik dan ingar-bingar serbuan novel, antologi cerpen, antologi puisi dan, naskah drama, kehadiran buku Sastra dan Agama (Jakarta: Yayasan Ngali Aksara bekerja sama dengan Penerbit Penamadani, xxiv + 313 halanan) karya Marwan Saridjo ini, laksana gerimis di tengah kemarau panjang kritik sastra Indonesia. Lebih daripada itu, buku ini juga boleh dikatakan mengisi dahaga atas kerontangnya pembicaraan mengenai sastra Indonesia yang bercorak Islam. Memang selama ini baru Abdul Hadi WM yang begitu gencar dan serius mengangkat khazanah sastra Islam. Oleh karena itu, langkah Marwan Saridjo melalui bukunya ini, seperti menyadarkan kita, betapa pembicaraan mengenai sastra Indonesia yang bercorak Islam terpaksa kita relakan tetap berada dalam posisi marjinal dan tersisih, karena memang kenyataannya demikian.
Sejak pemerintah kolonial Belanda mendirikan Balai Pustaka (1908, 1917) sampai awal tahun 1980-an ketika A. Teeuw menduduki singgasana kritikus garda depan dan terkemuka Indonesia yang fatwanya nyaris dipandang mendekati sabda dewa, posisi sastra Indonesia yang bercorak Islam, seperti tidak mendapat tempat. Pada periode itu sempat bergulir wacana sastra Islam yang kemudian semarak dalam konteks pembicaraan sastra sufi dan semangat “kembali ke akar, kembali ke tradisi”. Di sana sesunguhnya diisyaratkan bahwa sastra Indonesia yang bercorak Islam merupakan bagian penting dan tak terpisahkan dalam sejarah perjalanan sastra Indonesia kontemporer. Sejumlah karya sastra yang muncul dalam dasawarsa 1970-an itu menunjukkan jati dirinya sebagai sastra Indonesia dengan nafas dan semangat yang bercorak Islam. Tetapi, selepas itu, wacana itu seperti melempem kembali dan kemudian surut ke belakang. Kini wacana itu seperti tergantikan oleh derasnya semangat mengangkat sastra “selangkangan” dan tema-tema yang berkisar sekitar itu.
Harus diakui, bahwa perkembangan sastra Indonesia kontemporer sekarang ini menunjukkan dinamika dan keberagaman dalam segala hal. Tentu saja perkembangan itu perlu disikapi secara proporsional. Dalam konteks itu, kita tidak dapat menafikan adanya implikasi yang mengekorinya. Di satu sisi, ia merepresentasikan potret zaman, dan di sisi lain, ia seperti sebuah kendaraan yang melaju bebas dan boleh menabrak apa saja. Rambu-rambu lalu-lintas seolah-olah sengaja dicampakkan sekadar hendak mengejawantahkan kebebasan kreatifnya. Dalam kondisi inilah, mengingatkan dan menegakkan kembali rambu-rambu itu menjadi tuntutan yang dapat ditempatkan sebagai penyeimbang.
Buku Sastra dan Agama karya Marwan Saridjo ini memang tidak berpretensi hendak memaksakan diri menyodorkan rambu-rambu. Meski demikian, ia menjadi penting ketika persoalan sastra seolah-olah lepas begitu saja dan seperti tidak ada hubungannya dengan (doktrin) agama yang dalam bahasa Marwan Saridjo sebagai profanisasi. Dalam sastra Indonesia, ia menyebutkan tiga contoh kasus: pertama, peristiwa yang menimpa karya-karya Hamzah Fansuri; kedua, cerpen “Man Rabbuka” karya A.A. Navis; ketiga, heboh cerpen “Langit Makin Mendung.” Pertanyaannya, adakah dan di manakah relevansi peristiwa itu dalam konteks sekarang?
Sebagai peristiwa masa lalu, Marwan Saridjo menyodorkan catatan sejarah yang dapat digunakan sebagai cermin, pelajaran, atau bahkan alarm. Contoh ketiga kasus tadi sesungguhnya menegaskan kembali fungsi sastra dan hubungan sastra dengan kehidupan sosial-budaya yang melingkarinya. Bukankah sastra bukan benda yang seketika datang dari langit dan terlepas dari konteks sosial budaya masyarakat? Sastra adalah sebuah produk budaya, kreasi pengarang yang hidup dan terkait dengan tata kehidupan masyarakatnya. Sastra berada dalam tarik-menarik antara kebebasan kreasi pengarang dan hubungan sosial yang di dalamnya hidup etika, norma, aturan, kepentingan ideologis, bahkan juga doktrin agama. Sastra menjadi produk individual yang pada saat ia berada di tengah masyarakat, seketika itu pula ia dipandang menjadi bagian dari kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, ketika sastrawan mengusung kebebasan kreasinya dan kemudian menjelma dalam bentuk karya sastra, seketika itu pula ia berhadapan dengannsegala aturan, moral, etika dan konvensi yang hidup dalam masyarakat yang bersangkutan.
Secara keseluruhan pembicaraan mengenai hubungan sastra dan agama dalam buku ini disajikan dalam empat bagian. Bagian Pertama menyajikan dasar konseptual yang berkaitan dengan kriteria, pendekatan dan konsepsi sastra keagamaan. Bagian kedua yang bertajuk “Agama dan Aspek Profanasi (sic!) dalam Kesusastraan” mengungkapkan sejumlah contoh kasus menarik tentang profanisasi agama dalam sastra, termasuk di dalamnya kesan desakralisasi nilai-nilai agama. Bagian Ketiga mengungkapkan nilai-nilai Islam dalam adat dengan sejumlah contoh kasus novel-novel Balai Pustaka sebelum perang. Bagian Keempat bertajuk “Cita-Cita Pembaruan Islam terhadap Paham Ortodoks”. Dalam bagian ini, disertakan pula pembicaraan aspek keagamaan karya-karya Navis, Djamil Suherman, Muhammad Ali. Di sana ada pula pembicaraan tentang karya-karya religius Taufiq Ismail dan Bahrum Rangkuti. Melengkapi pembicaraan itu, disertakan pula pembicaraan tentang novel Atheis karya Achdiat Karta Mihardja, “Puisi Gelap” dan ditutup dengan bagian yang membicarakan “Sastra Keagamaan dan Masalah Pendekatannya.”
Jika mencermati keseluruhan tulisan dalam buku ini, kesan yang segera muncul adalah bahwa buku ini lebih menyerupai sebuah himpunan dari sejumlah tulisan dengan topik yang beragam. Ia kemudian dipersatukan dalam tema besar: hubungan sastra dan agama. Dalam hal itulah, tak dapat dihindarkan munculnya kesan lain yang berkaitan dengan konteks masa kini. Ada jarak waktu yang menjadikan tema-tema yang diangkat dalam buku ini seperti tidak lagi up to date dan kurang terasa cantelannya dengan perkembangan sastra Indonesia sekarang. Jika demikian, adakah kontribusinya pembaca masa kini dan bagi perkembangan sastra Indonesia secara keseluruhan?
Sebagai buku kritik –meski kita boleh berbeda pendapat atas isinya— buku ini telah mengisi kekosongan pembicaraan tentang hubungan sastra dan agama. Dengan demikian, buku ini dapat dijadikan semacam lelatu untuk mengobarkan pentingnya menguak kekayaan teks sastra. Di sana teks sastra dapat dipandang sebagai bentuk kritik atas dogma sempit agama, sebagai representasi dan pengejawantahan sikap religiusitas pengarangnya, dan sebagai bentuk parodi, ironi, atau bahkan penciptaan citra dan pesan ideologis sastrawannya. Dalam hal itu, buku ini memberi penyadaran, betapa pembicaraan tentang hubungan sastra dan agama, masih amat sedikit. Jadi, ia menawarkan sejumlah kajian yang belum banyak diungkap para pengamat sastra kita.
Sebagai catatan sejarah, buku ini memberi semacam alarm tentang pentingnya kesadaran bagi sastrawan sebagai kreator atas tanggung jawab moral dan peran sosialnya dalam kehidupan bermasyarakat. Contoh kasus cerpen “Langit Makin Mendung” yang diangkat dalam buku ini, menegaskan bahwa sastra yang disajikan secara artifisial (apalagi diungkapkan secara vulgar), tidak hanya akan merusak estetika karyanya sendiri, tetapi juga dapat melukai moral pembacanya.
Sungguh, buku ini tidak sekadar menyodorkan gagasan-gagasan menarik tentang hubungan sastra dan agama, tetapi juga menyimpan potensi lahirnya polemik. Sememangnya, hubungan sastra dan agama telah menjadi problem klasik yang tetap aktual dan tak kunjung selesai!