Keindahan adalah ekspresi kehendak, hasrat, dan cinta yang memancar dari dalam diri manusia. Kehendak, hasrat, dan cinta, mewujud dalam bentuk perilaku seni, misal, seni sastra, seni peran, seni lukis, seni tari, seni suara, seni kaligrafi, dan sebagainya. Kehendak, hasrat, dan cita pada apa yang benar, baik, dan indah, merupakan modal intuitif yang memberi rasa takjub, bangga, bahagia, malah juga tertawa, menangis dan terharu.
Dalam bahasa agama, apresiasi atas nilai-nilai keindahan adalah ungkapan syukur manusia atas keagungan-Nya, atas karunia 'estetik' ke dalam diri manusia, dan atas karunia 'api cinta' pada keindahan. Karenanya, "keindahan adalah ibadah dan ibadah itu indah."
Instrumen estetika itu tidak saja ada pada bidang seni konvensional yang sudah disebutkan di atas, melainkan juga ada pada bidang-bidang lain, seperti organisasi, managemen, pendidikan, dan seterusnya.
Dalam bahasa agama, apresiasi atas nilai-nilai keindahan adalah ungkapan syukur manusia atas keagungan-Nya, atas karunia 'estetik' ke dalam diri manusia, dan atas karunia 'api cinta' pada keindahan. Karenanya, "keindahan adalah ibadah dan ibadah itu indah."
Instrumen estetika itu tidak saja ada pada bidang seni konvensional yang sudah disebutkan di atas, melainkan juga ada pada bidang-bidang lain, seperti organisasi, managemen, pendidikan, dan seterusnya.
Ada seni berorganisasi, seni memenej, seni mendidik, seni berpikir, seni berjuang, dan seni lain-lain. Bidang seni yang tersebut belakangan, sering terabaikan untuk dibicarakan, ia hampir-hampir tidak dilihat sebagai bagian dari "keindahan" dalam konteks seni konvensional.
Padahal, ketika orang berbicara tentang estetika, maka dia terlibat dalam dunia keindahan dan kecintaan. Maka dunia estetika adalah dunai stumulans dan respons; dunia aksi dan reaksi. Lebih jauh, nilai estetika tidak saja berbicara tentang tujuan, tetapi juga berbicara tentang niat, cara, dan tujuan sekaligus.
Karenanya, gejala keindahan adalah gejala kemanusiaan universal. Justru tidaklah mengejutkan bila Al-Qur'an dibacakan dengan lagu yang merdu dan tartil yang apik, bahkan umat non-Muslim pun dengan tekun mendengarkan dan merasakan keindahannya.
Sebagai gejala manusia, hidup, dan ilmu, nilai estetika (keindahan) akhirnya melampaui batas ruang dan waktu manusia, melampaui batas bidang dan jenisnya secara konvensional, malahan juga melewati pintu-pintu agama dan sekat-sekat primordial kesukuan dan kebangsaan.
Nabi Muhammad saw. dalam sebuah sabdanya yang amat populer menegaskan, "Innallaha jamil, wayuhibbu al-jamal," "Sesungguhnya Allah itu indah, dan dia mencintai segala keindahan." Substansi estetika memang berada pada dua tataran objektif seperti dirumuskan dalam sabda Nabi Muhammad saw. di atas yaitu unsur "Indah" dan "Cinta."
Karena "indah" maka lahirlah "cinta" atau sibalinya, karena "cinta" maka lahirlah "keindahan," baik indah secara fisik maupaun indah secra substansi. Orang bisa saja cinta pada seorang artis idolanya, karena cinta pada keindahan fisik sang artis. Tetapi, orang juga bisa cinta pada idolanya berdasarkan cinta pada keindahan substansi, misalnya, sang idola mampu memancarkan kecerdasan berfikir atau mampu memperdengarkan keindahan suara yang menawan hati.
Karena itu hampir bisa dipastikan bahwa cinta tidak pernah tumbuh dari suatu yang sakit, kotor dan lemah. Cinta selalu hadir dari sesuatu uang sehat, bersih, dan kuta. Bersi itu indah, maka memantulkan nilai kecintaan dan kesehatan. Sehat itu indah maka melahirkan kekuatan dan kecintaan. Kuat itu indah maka menumbuhkan kecintaan dan kebahagiaan. Begitulah seterusnya.
Islam memang indah...
BalasHapusSemua yang indah pastilah dari Islam.
BalasHapusSemoga Islam akan selalu terlihat indah dalam pandangan masyarakat dunia. Dan semoga dengan keindahan Islam itu, akan membuka hati mereka-mereka yang selama ini memusuhi Islam.
BalasHapus